Jumat, 25 Mei 2012

Kurva Karakteristik Radiografi

Film Karakteristik Kurva Dalam Film radiografi, jumlah foton mencapai film menentukan seberapa padat film ini akan menjadi saat faktor-faktor lain seperti waktu berkembang tetap konstan. Jumlah foton mencapai film ini adalah fungsi dari intensitas radiasi dan waktu yang film ini terkena radiasi. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan kontrol jumlah foton mencapai film ini "eksposur."
Film Karakteristik Kurva
Berbagai jenis Film radiografi merespon secara berbeda terhadap jumlah yang diberikan eksposur. Film produsen umumnya menggolongkan film mereka untuk menentukan hubungan antara paparan diterapkan dan densitas film yang dihasilkan. Hubungan ini biasanya bervariasi pada rentang kepadatan film, sehingga data tersebut disajikan dalam bentuk kurva seperti satu untuk AA400 Kodak ditampilkan ke kanan. plot ini disebut kurva karakteristik film, kurva sensitometric, kurva kepadatan, atau kurva H dan D (nama untuk pengembang Hurter dan Driffield). "Sensitometry" adalah ilmu yang mengukur respon emulsi fotografi terhadap cahaya atau radiasi.
Skala log digunakan atau nilai dilaporkan dalam satuan log pada skala linier untuk menekan sumbu-x. Selain itu, nilai eksposur relatif (unitless) sering digunakan. eksposur relatif adalah rasio dari dua eksposur. Misalnya, jika satu film terkena sebesar 100 keV untuk 6mAmin dan film kedua terpapar pada energi yang sama untuk 3mAmin, maka akan eksposur relatif 2. Gambar langsung ke kanan menunjukkan kurva film tiga karakteristik dengan eksposur relatif diplot pada skala log, sedangkan gambar di bawah ini dan ke kanan menunjukkan log eksposur relatif diplot pada skala linier.
Penggunaan logaritma dari skala eksposur relatif memudahkan untuk membandingkan dua set nilai-nilai, yang merupakan penggunaan utama dari kurva. Film kurva karakteristik dapat digunakan untuk mengatur eksposur digunakan untuk menghasilkan radiograf dengan kepadatan tertentu untuk eksposur yang akan menghasilkan radiograf kedua densitas film yang lebih tinggi atau lebih rendah. Kurva juga dapat digunakan untuk berhubungan paparan diproduksi dengan satu jenis film untuk eksposur yang dibutuhkan untuk menghasilkan radiograf dengan densitas yang sama dengan kedua jenis film.
Menyesuaikan Paparan untuk Menghasilkan Density Film Berbeda
Misalkan Film B terpapar dengan 140 keV di 1mA selama 10 detik dan radiograf yang dihasilkan memiliki densitas di wilayah bunga sebesar 1,0. Spesifikasi biasanya membutuhkan kepadatan yang akan di atas 2.0 untuk alasan yang dibahas di halaman densitas film. Dari kurva karakteristik film, eksposur relatif untuk kepadatan aktual dan kepadatan yang diinginkan ditentukan dan rasio dari dua nilai digunakan untuk mengatur eksposur yang sebenarnya. Dalam contoh pertama, plot dengan eksposur log relatif dan sumbu x linier akan digunakan.
Dari grafik, pertama menentukan perbedaan antara eksposur relatif dari aktual dan kepadatan yang diinginkan. Sebuah kepadatan target 2,5 digunakan untuk memastikan bahwa eksposur menghasilkan kepadatan di atas persyaratan minimum 2.0. Pemaparan log relatif dari kepadatan 1.0 adalah 1,62 dan log dari eksposur relatif ketika densitas film ini 2,5 adalah 2.12. Perbedaan antara dua nilai adalah 0,5. Ambil anti-log dari nilai ini untuk mengubahnya dari eksposur relatif log untuk sekedar eksposur relatif dan nilai ini adalah 3.16. Oleh karena itu, paparan yang digunakan untuk menghasilkan radiograf awal dengan kepadatan 1.0 harus dikalikan dengan 3,16 untuk menghasilkan radiograf dengan kepadatan yang diinginkan 2,5. Pemaparan dari sinar x asli-adalah 10 mas, sehingga eksposur baru harus 10 mas x 3,16 atau 31,6 mas di 140 keV.
Menyesuaikan Paparan untuk Izinkan Penggunaan Jenis Film Berbeda
Penggunaan lain kurva karakteristik film adalah untuk mengatur pemaparan switching jenis film. Lokasi kurva karakteristik film yang berbeda sepanjang sumbu-x berkaitan dengan kecepatan film film. Semakin jauh ke kanan bahwa kurva adalah pada tabel, semakin lambat kecepatan film. Harus dicatat bahwa kedua kurva yang digunakan harus telah dihasilkan dengan energi radiasi yang sama. Bentuk kurva karakteristik sebagian besar tergantung pada panjang gelombang sinar-x atau radiasi gamma, tapi lokasi kurva sepanjang sumbu x, sehubungan dengan kurva film lain, tidak tergantung pada kualitas radiasi.
Misalkan suatu radiograf diterima dengan kepadatan 2,5 diproduksi dengan mengekspos Film A untuk 30 detik pada 1mA dan 130 keV. Sekarang, perlu untuk memeriksa bagian menggunakan Film B. paparan ini dapat disesuaikan dengan mengikuti metode di atas, selama di film kedua kurva karakteristik yang diproduksi dengan kasar kualitas radiasi yang sama. Untuk contoh ini, kurva karakteristik untuk Film A dan B ditampilkan pada grafik yang menunjukkan eksposur relatif pada skala log. Eksposur relatif yang menghasilkan kepadatan 2,5 di Film A ditemukan 68. Eksposur relatif yang harus menghasilkan kerapatan 2,5 di Film B adalah ditemukan 140. Pemaparan relatif Film B adalah sekitar dua kali lipat dari Film A, atau 2,1 lebih tepat. Oleh karena itu, untuk menghasilkan radiograf 2,5 kepadatan dengan Film B eksposur harus 30mAs 2.1 atau 62 kali mas.

Cara Mengukur Tekanan Darah

  1. Pasang (lilitkan) manset tensimeter pada lengan atas di atas siku. Batas bagian bawah manset sekitar 2-3 cm dari lipatan siku. Boleh di lengan kiri atau kanan. Pemasangan manset pada bagian ini karena di sinilah letak pembuluh darah yang bernama Arteri Brachialis, yaitu pembuluh darah yang berasal langsung dari jantung. Letak pembuluh ini persis berada di bawah kulit di lipat siku (batas lengan bawah). Fungsi manset adalah untuk menekan pembuluh darah arteri tersebut. Perhatikan tanda panah yang bertuliskan "Artery" pada manset dan pastikan bagian itu antum letakkan tepat di tempat yang dimaksud. (Lihat Gambar)
    Tekanan Darah
  2.  Manset tensimeter harus sejajar atau setinggi jantung. Orang yang diperiksa lebih baik dalam kondisi berbaring atau duduk. Kondisinya harus santai/rileks, tangan tidak boleh tegang.
  3. Pasang stetoskop di telinga antum, tempelkan bagian yang pipih-bulat di sebelah bawah lilitan manset pada lipatan siku tempat dimana Arteri Brachialis berada.
  4. Putar ke kanan (searah jarum jam) katup pengatur udara yang ada pada pompa karet manset untuk menutupnya, agar saat antum memompa manset nanti tidak ada udara yang bocor keluar.
  5. Remas-remas pompa karet agar udara masuk ke dalam manset sampai jarum aneroid menunjukkan tekanan 140 mmHg. Kenapa 140 mmHg? Yah, karena fungsi manset tensimeter adalah untuk menekan Arteri Brachialis agar aliran darah pada arteri tersebut terhenti pada tekanan tertentu. Dan untuk tekanan sistole yang normal pada orang dewasa adalah 120 mmHg. Maka pada tekanan 140 mmHG tekanan darah akan terhenti. Dari sinilah pengambilan nilai 140 mmHg didasarkan.
  6. Dengarkan suara yang muncul dari stetoskop yang telah terpasang di telinga antum. Jika pada tekanan 140 mmHg masih terdengar suara pulsasi/denyut arteri (suaranya ...duk...duk...duk...duk..., seperti ketukan jari di atas meja), berarti orang yang diperiksa adalah seorang penderita hipertensi, maka naikkan lagi tekanan dengan cara meremas pompa karet sedikit demi sedikit hingga suara pulsasi/denyut tidak terdengar lagi.
  7. Setelah itu putar ke kiri sedikit katup pengatur udara agar udara di dalam manset keluar sedikit demi sedikit dengan kecepatan 2-3 mmHg/detik, hingga aliran darah di arteri Brachialis kembali mengalir. Perhatikan dan dengarkan suara yang timbul dari stetoskop antum ketika katup manset terbuka. Ketika terdengar suara denyut arteri (...duk...duk...duk...duk...) untuk yang pertama kali, maka itulah suara yang disebut sebagai suara Korotkoff sekaligus penanda tekanan sistole. Kemudian suara denyutan itu makin lama makin keras, lalu berubah menjadi bising, lalu terdengar jelas lagi, kemudian mulai melemah dan lalu menghilang. Nah, titik di saat suara ketukan/denyut arteri menghilang itulah yang dijadikan sebagai penanda tekanan diastole.
Jadi jika ada yang mengatakan bahwa tekanan darahnya adalah 120/80, maka itu berarti nilai 120 mmHg untuk tekanan sistole dan 80 mmHg untuk tekanan diastole. .Untuk lebih jelasnya, perhatikan 5 Fase yang digunakan untuk menentukan tekanan sistole dan diastole di bawah ini.


5 Fase Dalam Penentuan Sistole dan Diastole

Fase I:
Fase dimana antum memompa manset pada nilai tertentu (140 mHg) hingga tidak terdengar lagi denyut arteri dan kemudian antum berhenti memompa, lalu mulai membuka sedikit katup udara manset yang menjadikan tekanan udara manset berkurang setahap demi setahap. Kemudian tiba-tiba pada nilai tertentu (misal: 120 mmHg) terdengar jelas suara denyut/ketukan pendek-pendek yang makin lama makin keras. Suara ini disebut suara Korotkoff dan terdengar selama tekanan mansetnya diturunkan sekitar 10-14 mmHg/detik.

Fase II:
Selama penurunan tekanan menjadi sekitar 15-20 mmHg, suara bising (murmur) akan terdengar namun kerasnya berkurang.

Fase III:
Selama penurunan 5-7 mmHg berikutnya, suara ketukan menjadi jelas kembali dan terdengar lebih keras.

Fase IV:
Selama penurunan 5-6 mmHg berikutnya, suara terdengar meredup dan melemah dengan cepat .

Fase V:
Pada fase ini suara ketukan pun menghilang.

Nah, perhatikan jarum di alat pengukur tekanan pada manset antum saat suara ketukan yang pertama kali terdengar pada Fase I. Angka yang ditunjuk oleh jarum itulah yang menjadi nilai untuk tekanan sistole.
Kemudian perhatikan jarum di alat pengukur tekanan manset antum pada saat suara ketukan menghilang pada Fase V. Angka yang ditunjuk oleh jarum itulah yang menjadi nilai untuk tekanan diastole.
Cobalah untuk melakukan pemeriksaan ini 2-3 kali, agar lebih yakin.

Sebagai catatan tambahan, sebaiknya pemeriksaan tekanan darah ini dilakukan saat pasien dalam kondisi rileks atau tidak sedang dalam kondisi bekerja secara fisik. Karena pada orang dewasa yang sedang bekerja secara fisik, tekanan diastole akan terjadi pada awal fase IV. Perlu dicatat juga bahwa tekanan diastole pada anak-anak juga terjadi pada fase IV.

Dan perlu diperhatikan juga bahwa pengukuran tekanan darah harus akurat agar tidak menimbulkan kesalahan diagnosis. Dan jika antum menangani penderita hipertensi atau darah tinggi, maka kesalahan diagnosis ini akan berakibat fatal.

Sebuah cerpen pembangun jiwa. Hehe.. Baca sampai habis ya saudaraku seiman, seperjuangan.. :-)

Rabu mendung di kampus orange..
Namun dinginnya pagi terasa panas karena seorang dosen bernama Dalalah memberikan kritikan pedasnya tentang demo lukisan Nabi Muhammad saw.
"Sudah saatnya umat Islam melek, baca sejarah, ada gak ayat Quran atau hadits yang menjelaskan dengan eksplisit pelarangan melukis Nabi? Cuma gara-gara karikatur sampai demo besar-besaran. Alasannya karena ntar gambar Nabi disembah, atau gambar Nabi gak mirip aslinya, atau bohong atas Nabi. Apa ada kaidah menggambar itu harus mirip aslinya?? Atau mereka bilang menggambar Nabi itu menyakiti Nabi. Lha, Nabi kan sudah wafat? Gimana kita tahu kalau itu menyakiti Nabi?? Banyak umat Islam sekarang yang gak pakai otak ternyata.."
Semua mahasiswa terdiam. Mau dibantah pakai apa? Quran belum hafal, hadits cuma hafal dua buah, baca kitab ulama malas, maka diam lebih baik..
Kejadian ini segera tersebar di kampus orange. Sampai ke telinga seorang mahasiswa kreatif. "Ahh.. Ada lagi, ada lagi.." gumamnya..
Kamis lumayan cerah, ada kejadian yang membuat gerah..
Bertebaran gambar dosen dalalah, berbibir sumbing, hidungnya seperti babi, mata juling, telinga tidak simetris, gambar yang sangat tragis.
Dosen dalalah geram, rahangnya mengeras, pikirannya melayang pada mahasiswa kreatif yang membuat 2 dosen lain mengundurkan diri. Namun ia bisa mengendalikan emosi.
Bergegas, ia menuju kelas mahasiswa kreatif.
"Mana si ****b?!"
Seorang mahasiswa yang asil ngobrol menoleh, "Ya, ada apa pak?"
D: "Kamu yang melakukan ini?"sambil memperlihatkan karikatur dirinya.
M: "Hmmmm... Iya pak.. Memangnya ada apa pak?"
D: "Hebat kamu ya.. Apa saya terlihat seperti ini?!"mukanya mulai merah.
M: "Nggak lah pak. Bapak kan keren. Hehe.."
D: "Coba kasih penjelasan tentang apa yang kamu lakukan ini! Gak mirip sama sekali dengan saya! Beraninya kamu..!"
M: "Gak kenapa-napa kok pak. Saya cuma berekspresi. Bebas dong. Gak boleh dibatas-batasin. Apalagi cuma gambar kecil gini. Ya biarpun gak mirip,emangnya gambar itu harus mirip sama aslinya pak? Gak ada kaidahnya saya pikir.."
D: "Kamu lancang ya?!"
Si dosen bergegas keluar sambil ngomel, "Berani berurusan sama saya, IP kamu jadi taruhannya!"
Sang mahasiswa mengejar si dosen.
M: "Pak, kenapa bapak marah? Apa bapak berhak marah karena kebebasan berekspresi saya? Bukannya bapak bilang ekspresi seni boleh sebebas-bebasnya?"
D: "Saya berhak marah jika gambar saya sangat jauh dari kenyataan!!"
M: "Nah, bagaimana dengan gambar Nabi yang jauh dari kenyataan pak? Padahal Nabi Muhammad SAW jauh lebih tampan dari Nabi Yusuf AS! Apa Nabi gak berhak marah?! Apa itu bukan menyakiti hati Nabi?"serunya lantang.
Mahasiswa lain mulai menangkap jalan pikiran sang mahasiswa kreatif dan mulai bersorak. "Tul!! Itulah kenapa menggambar Nabi dilarang!"
"Betul!"
"Lindungi Nabi dari pelecehan!"
"AllahuAkbar!"
Muka dosen dalalah memerah, baru kali ini dia dipermalukan oleh mahasiswa bau kencur. Ia sadar mahasiswa yang dihadapinya bukan mahasiswa sembarangan. Ingin rasanya ia memukul sang mahasiswa, namun ia sadar, posisinya sebagai dosen terpandang di kampus bisa rusak. Buru-buru ia berjalan, menahan marah..
"********!! Kali ini kamu menang..! Tapi tidak lain kali..!"gumanya.

***

Mari kita sebagai Muslim, lebih memiliki proteksi yang lebih buat Nabi Muhammad saw, bukannya membiarkan pelecehan yang terjadi, atau malah mendukung.
Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. ^_^

Jumat, 18 Mei 2012

makalah TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA by RORY 120121

BAB II

TENAGA KESEHATAN DI INDONESIA

 

Definisi Tenaga Kesehatan

 

           Tenaga kesehatan adalah semua orang yang bekerja secara aktif dan profesional di bidang kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak, yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN), tenaga kesehatan merupakan pokok dari subsistem SDM kesehatan, yaitu tatanan yang menghimpun berbagai upaya perencanaan, pendidikan dan pelatihan, serta pendayagunaan kesehatan secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Unsur utama dari subsistem ini adalah perencanaan, pendidikan dan pelatihan, dan pendayagunaa tenaga kesehatan.

 

 Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan

 

           Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kesehatan adalah upaya penetapan jenis, jumlah, dan kualifikasi tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan.(Depkes, 2004).

           Perencanaan tenaga kesehatan diatur melalui PP No.32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan antar lain bahwa pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang merata bagi masyarakat. Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan yang dibutuhkan, sarana kesehatan, serta jenis dan jumlah yang sesuai. Perencanaan nasional tenaga  kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

 

           Sebagai turunan dari PP tersebut, telah diterbitkan beberapa Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes). Kepmenkes No.850/Menkes/SK/XII/2000 Tahun 2000 (Depkes 2004)  antara lain mengatur tentang kebijakan perencanaan tenaga kesehatan untuk meningkatkan kemampuan para perencanan pemerintah, masyarakat dan semua profesi disemua tingkatan. Kepmenkes No. 81/Menkes/SK/I/2004 Tahun 2004 (Depkes, 2004) antara lain mengatur tentang pedoman penyusunan perencanaan sumberdaya kesehatan di tingkat provinsi, kabupaten/kota, serta rumah sakit. Pada Kepmenkes tersebut disediakan pula menu tentang metode perencanaan tenaga kesehatan untuk dipilih sesuai dengan kemauan dan kemampuan.

 

          

 

 

Dalam hal perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan terdapat empat metoda

penyusunan yang dapat digunakan yaitu;

1. Health Need Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang

didasarkan atas epidemiologi penyakit utama yang ada pada masyarakat.

2. Health Service Demand, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang

didasarkan atas permintaan akibat beban pelayanan kesehatan.

3. Health Service Target Method yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang

didasarkan atas sarana pelayanan kesehatan yang ditetapkan, misalnya Puskesmas,

dan Rumah Sakit.

4. Ratios Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan

pada standar/rasio terhadap nilai tertentu.

Dalam prakteknya di Departemen Kesehatan lebih banyak menggunakan Ratios

Method dengan proses perhitungan sebagai berikut:

1. Menentukan/memperkirakan rasio terhadap suatu nilai, misalnya rasio tenaga

kesehatan dengan penduduk, dengan jumlah tempat tidur RS, dengan Puskesmas,

2. Membuat proyeksi nilai tersebut kedalam sasaran/ target tertentu,

3. Menghitung perkiraan, yaitu dengan cara membagi nilai proyeksi dengan rasio.

Contoh, ratio tenaga kesehatan: tempat tidur di RS, di Indonesia, misalnya 1:5000,

di India 1: 2000, di Amerika 1:500 (Suseno, 2005)

Dari analisis perencanaan kebutuhan tenaga, secara umum dapat dikatakan tenaga

kesehatan di Indonesia baik dari segi jumlah, jenis, kualifikasi, dan mutu dan

penyebarannya masih belum memadai. Beberapa jenis tenaga kesehatan yang baru masih

diperlukan pengaturannya. Beberapa jenis tenaga kesehatan masih tergolong langka,

dalam arti kebutuhannya besar tetapi jumlah tenaganya kurang karena jumlah institusi

pendidikannya terbatas dan kurang diminati.

 Pendidikan Dan Pelatihan Tenaga Kesehatan

 

           Pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan adalah upaya pengadaan tenaga

kesehatan sesuai jenis, jumlah dan kualifikasi yang telah direncanakan serta peningkatan

kemampuan sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan (Depkes, 2004).

Berdasarkan PP No.32 Tahun 1996 dan Kepmenkes No.1192 Tahun 2004 (Depkes, 2004) terdapat enam kelompok pendidikan tenaga kesehatan yaitu:

1. Keperawatan yang meliputi Sekolah Perawat Kesehatan, Sekolah Pengatur Rawat

Gigi, Keperawatan, Kebidanan, dan Kesehatan Gigi

2. Kefarmasiaan, meliputi Sekolah Menengah Farmasi, Analis Farmasi

3. Kesehatan Masyarakat (Kesehatan Lingkungan)

4. Gizi

5. Keterapian Fisik meliputi Fisioterapi, Okupasi Terapi, Terapi Wicara, Akupuntur

6. Keteknisan Medis meliputi SMAK, Analis Kesehatan, Teknik Gigi, Ortotik

Prostetik, Teknik Elektro Medik, Teknik Radiologi, Pendidikan Teknologi Transfusi

Darah, Perekam dan Informatika Kesehatan, dan Kardiovaksuler.

 

           Jumlah Institusi pendidikan tenaga kesehatan seluruhnya 846 terdiri atas 199

Politeknik Kesehatan (Poltekes) dan 647 non Poltekes. Menurut kepemilikannya, 32 institusi milik pemerintah pusat, 102 milik pemerintah daerah, 34 milik TNI, dan bagian terbesar (511) adalah milik swasta. jumlah peserta didik seluruhnya sebanyak 146.220 orang terdiri dari 36.387 peserta didik poltekes, dan 109.833 non Poltekes.

 

           Tujuan yang ingin dicapai oleh institusi pendidikan tenaga kesehatan adalah

menghasilkan tenaga kesehatan yang profesional dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Memiliki bekal kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain

2. Bekerja dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik

3. Sanggup menggunakan wewenang secara arif dan bijaksana, dan

4. Mampu berperan aktif sebagai perencana, pelaksana dan penggerak pembangunan.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka dirumuskan tiga strategi dasar yaitu:

1. Meningkatkan mutu lulusan pendidikan tenaga kesehatan

2. Meningkatkan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan

3. Meningkatkan kemitraan dan kemandirian institusi pendidikan tenaga kesehatan.

 

           Dalam hal peningkatan mutu lulusan tenaga kesehatan acuannya adalah PP No. 32 Tahun 1996 yang menetapkan bahwa tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan. Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya juga berkewajiban untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan.

 

           Peningkatan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan diatur pada PP yang sama. Dalam PP ini dinyatakan bahwa tenaga kesehatan dihasilkan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan di bidang kesehatan bisa pemerintah atau masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan harus dilaksanakan berdasarkan izin sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Izin penyelenggaraan pendidikan profesional dikeluarkan bersama oleh Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional. Selanjutnya, izin penyelenggaraan pendidikan akademik dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional.

 

           Beberapa isu yang perlu mendapat perhatian dalam pendidikan tenaga kesehatan

antara lain:

1. Perencanan kebutuhan tenaga kesehatan dengan produksi lulusan yang dihasilkan

belum serasi

2. Kemampuan produksi belum sejalan dengan daya serap tenaga lulusan

3. Produksi lulusan belum sesuai dengan mutu yang diinginkan oleh pengguna

4. Kebijakan dan pengelolaan antara Poltekes dan Non Poltekses belum sinkron

5. Penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah

belum sepadan dengan penyelenggaraan oleh swasta

6. Perundangan antara yang dikeluarkan oleh Depkes dan Depdiknas belum selaras.

Penetapan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah

berdampak terhadap penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh berbagai instansi

diluar Depdiknas termasuk Departemen Kesehatan. (Soeparan, 2005)

 

 


Pendayagunaan Tenaga Kesehatan

 

           Pendayagunaan tenaga kesehatan adalah upaya pemerataan, pembinaan, dan

pengawasan tenaga kesehatan. Beberapa permasalahan klasik dalam pendayagunaan tenaga kesehatan antara lain:

1. Kurang serasinya antara kemampuan produksi dengan pendayagunaan

2. Penyebaran tenaga kesehatan yang kurang merata

3. Kompetensi tenaga kesehatan kurang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan

4. Pengembangan karir kurang berjalan dengan baik

5. Standar profesi tenaga kesehatan belum terumuskan dengan lengkap

6. Sistem penghargaan dan sanksi tidak berjalan dengan semestinya.

           Dalam hal pendayagunaan dan penempatan tenaga dokter tercatat paling tidak tiga periode perkenmbangan kebijakan. Pada periode tahun 1974-1992, tenaga medis harus melaksanakan kewajiban sebagai tenaga Inpres, diangkat sebagai PNS dengan golongan kepangkatan III A atau dapat ditugaskan sebagai tenaga medis di ABRI.

 

           Masa bakti untuk PNS Inpres selama 5 tahun di Jawa, dan 3 tahun di luar Jawa. Pada periode ini berhasil diangkat sekitar 8.300 tenaga dokter dan dokter gigi dengan menggunakan formasi Inpres dan hampir semua Puskesmas terisi oleh tenaga dokter.

 

           Periode 1992-2002 ditetapkan kebijakan zero growth personel. Dengan demikian hampir tidak ada pengangkatan tenaga dokter baru. Sebagai gantinya pengangkatan tenaga medis dilakukan melalui program pegawai tidak tetap (PTT) yang didasarkan atas Permenkes No. 1170.A/Menkes/Per/SK/VIII/1999. Masa bakti dokter PTT selama 2 sampai 3 tahun. Dalam periode ini telah diangkat sebanyak 30.653 dokter dan 7.866 dokter gigi yang tersebar di seluruh tanah air. Pada tahun 2002 terjadi beberapa permasalahan dalam penempatan dokter PTT yaitu:

 1. Daftar tunggu PTT untuk provinsi favorit terlalu lama

2. Usia menjadi penghambat untuk melanjutkan pendidikan ke dokter spesialis

3. Terjadi kelambatan pembayaran gaji

4. Besarnya gaji tidak signifikan jika dibandingkan dengan dokter PNS

5. Adanya persyaratan jabatan sebagai Kepala Puskesmas

6. Ada anggapan melanggar hak azasi masusia (HAM) karena dianggap sebagai kerja paksa.

           Pada perode mulai tahun 2005 pengangkatan dokter dan dokter gigi PTT

mempunyai ciri sebagai berikut:

1. Bukan merupakan suatu kewajiban, tetapi bersifat sukarela

2. Tidak lagi memberlakukan kebijakan antrian/daftar tunggu

3. Semua provinsi terbuka untuk pelaksanaan PTT sesuai kebutuhan

4. Rekrutmen, seleksi administratif berdasarkan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif),

domisili, tahun kelulusan dan lamanya menunggu dalam antrian

5. Diprioritaskan bagi dokter dan dokter gigi yang belum melaksanakan masa bakti

6. Dokter pasca PTT dapat diangkat kembali untuk provinsi yang kebutuhannya belum terpenuhi

7. Pengurangan lama masa bakti bagi daerah yang kurang diminati seperti daerah

terpencil dan daerah pemekaran.

           Kebijakan ini berpotensi menimbulkan permasalahan kompensasi gaji yang tidak cukup menarik dan peminatan cenderung ke provinsi yang besar dan kaya (misalnya Jabar,Jateng, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan Kaltim). Provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia pada umumnya kurang peminat karena adanya alternatif pilihan di provinsi lain.

 

           Dalah hal penempatan dokter spesialis, sampai dengan Desember 2004 jumlah dokter spesialis (PNS) di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 11.057 orang. Jumlah RS vertikal dan Daerah sebanyak 420 RS. Jumlah dokter spesialis yang bertugas di RS milik Pemerintah sebanyak 7.461 orang, terdapat kekurangan sebanyak 3.868 orang.

 

           Rata-rata produksi dan penempatan tenaga dokter spesialis per tahun sebanyak 509 orang. Sejak diterapkannya otonomi daerah, penempatan dokter spesialis harus terlebih dulu ditawarkan melalui pejabat pembina kepegawaian (PP No.9 Tahun 2003). Pada akhir tahun 1999 diberlakukan kebijakan penundaan masa bakti bagi dokter spesialis yang langsung diterima pendidikan spesialis. Dengan adanya pengurangan masa bakti bagi dokter spesialis bagi daerah tertentu, misalnya di provinsi NAD cukup menarik minat untuk bertugas di daerah.

 

           Tenaga kesehatan lainnya yang cukup penting adalah bidan, sebagai tenaga yang diharapkan berperan dalam penurunan angka kematian bayi dan kematian ibu melahirkan.

 

           Seperti halnya dengan dokter, pengangkatan tenaga bidan menggunakan sistem PTT

dengan karakteristik kebijakan sebagai berikut:

1. Penugasan selama 3 tahun di daerah biasa dan 2 tahun di daerah terpencil

2. Penugasan dapat diperpanjang dua kali di desa yang sama dan dimungkinkan untuk diangkat kembali sebagai bidan PTT sesuai kebutuhan.

 

           Sampai dengan bulan April 2005 keberadaan Bidan PTT di seluruh tanah air sebanyak 32.470 orang, berarti kurang dari 50 % dari jumlah desa. Beberapa permasalahan yangberkaitan dengan Bidan PTT antara lain pada umumnya mereka berharap dapat diangkat sebagai PNS (peningkatan status), kompensasi gaji relatif tidak memadai, dan besaran gaji antara daerah terpencil dengan sangat terpencil relatif kecil sehingga tidak menarik.

(Ruswendi, 2005)

Pembinaan dan pengawasan praktik profesi tenaga kesehatan belum terlaksana

dengan baik. Pada masa mendatang, pembinaan dan pengawasan tersebut dilakukan

melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi. Sertifikasi dilakukan oleh institusi pendidikan, registrasi dilakukan oleh komite registrasi tenaga kesehatn, uji kompetensi dilakukan oleh setiap organisasi profesi, sedangkan pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah. Pengaturan ini memerlukan dukungan peraturan perundangan yang kuat. Sampai saat ini baru profesi kedokteran yang sudah memiliki UU Praktik Kedokteran.

 

Kualitas tenaga kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Saat ini, misalnya, dapat dilihat dari masih banyaknya puskesmas yang tidak mempunyai dokter umum. Akibatnya banyak puskesmas, terutama di daerah terpencil yang hanya dilayani oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Berbagai kajian (Bappenas, 2004; BPS dan OCR Macro, 2003) juga menunjukkan bahwa sebagian masyarakat mempunyai persepsi bahwa tenaga kesehatan belum sepenuhnya memberikan kepuasan bagi pasien, misalnya dokter yang dianggap kurang ramah, terbatasnya informasi kesehatan yang diberikan kepada pasien, atau lamanya waktu tunggu. Bahkan akhir-akhir ini sering muncul keluhan dan pengaduan masyarakat atas dugaan terjadinya malpraktek dokter.

 

 

 

 

 Distribusi Tenaga Kesehatan

Keterbatasan jumalh tenaga kesehatan semakini diperburuk oleh distribusi tenaga

kesehatan yang tidak merata. Misalnya, lebih dari dua per tiga dokter spesialis berada di Jawa dan Bali, provinsi lain yang memiliki banyak dokter spesialis dibanding daerah lainnya adalah di provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.

 

 

 

           Penyebaran tanaga medis di Jawa Barat menjadi prioritas pada 2009 menyusul komposisi saat ini sekitar 75 persen dari 25.000 tenaga medis di provinsi itu masih bertumpuk di perkotaan."Tidak meratanya tenaga medis diduga menjadi faktor pemicu tingginya angka kematian ibu dan merebaknya penyakit menular di kawasan pinggiran Jawa Barat," kata Gubernur Jawa Barat, H Ahmad Heryawan di Bandung, Minggu.Pemprov Jabar, kata gubernur, melalui Dinas Kesehatan mulai 2009 melakukan penyebaran tenaga medis dari perkotaan ke desa-desa sehingga akses kesehatan masyarakat di pedesaan menjadi lebih dekat.

           Berdasarkan data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barat, terdapat sekitar 11.000 dokter di Jawa Barat, sebanyak 70 persen diantaranya adalah dokter umum."Dengan kondisi itu seharusnya tenaga medis di jabar sudah memdai, namun penyebarannya tidak merata. Sekitar 75 persen dari mereka bertumpuk di kota," kata gubernur.Penumpukan tenaga medis khususnya dokter terjadi di kota-kota besar seperti Kota Bandung, Bekasi dan Bogor. Akibatnya pelayanan kesehatan, khususnya di kawasan Jawa Barat Selatan sedikit tertinggal.

           Upaya yang dilakukan saat ini, dilakukan dengan melakukan program pelatihan bidan desa yang direkrut dari putra daerah. Untuk menutupi kekurangan SDM kesehatan, mulai 2008 lalu digulirkan bea siswa pendidikan untuk 1.200 calon bidang desa."Setelah lulus mereka akan ditempatkan di desa masing-masing yang membutuhkan tenaga medis. Mereka tak boleh lagi bertumpuk di kota-kota," katanya.Selain menambah tenaga medis, Pemprov Jabar juga mengoptimalkan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)."Sayangnya data penerima program Jamkesmas minim dan tidak akurat, akibatnya terjadi salah sasaran. Yang seharusnya menerima tetapi tidak menikmati fasilitas kesehatan secara memadai dari program itu," kata Heryawan menambahkan.Untuk mengatasi hal itu, Pemprov Jabar menyalurkan bantuan program peningkatan pelayanan kesehatan ke beberapa kabupaten dan kota di provinsi itu

Kondisi Umum Tenaga Kesehatan Di Tingkat Nasional

Secara umum sampai dengan tahun 2004, tenaga kesehatan (SDM Kesehatan) dapat

diidentifikasikan belum mencukupi, baik ditinjau dari segi jumlah, jenis, kualifikasi, mutu maupun penyebarannya.

 

1. Jumlah dan Kualitas

Sampai dengan tahun 2004 terdapat sekitar 274.383 tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit dan Puskesmas di seluruh Indonesia, untuk memberikan pelayanan kepada sekitar 218 juta penduduk. Jumlah ini masih belum mencukupi untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal. Rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk yang relative masih kecil. Untuk itu dalam Indonesia Sehat 2010, jumlah tenaga kesehatan akan ditingkatkan menjadi 1.108.913 pada tahun 2010, dengan harapan lebih banyak tenaga kesehatan per penduduk. Tabel 4.1 menunjukkan rasio jenis tenaga kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit pada tahun 2004 dengan kondisi yang ingin dicapai pada tahun 2010 untuk beberapa jenis tenaga kesehatan Tabel 4.1 Jenis tenaga kesehatan dan rasio terhadap penduduk di bandingkan dengan sasaran Indonesia Sehat 2010

 


 

 

 

       Dibandingkan dengan negara-negara lain, rasio tenaga kesehatan terutama tenaga dokter, dokter gigi, perawat dan bidan terhadap jumlah penduduk di Indonesia masih rendah terlihat dari tabel berikut.

          

           Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia masih belum mencukupi. Berdasarkan Health System Performance Assessment 2004, rata-rata jumlah dokter per 100.000 penduduk di Indonesia adalah 15,5 dan sekitar 60-70% dokter tersebut bertugas di Pulau Jawa. Sekitar dua per tiga dari jumlah provinsi mempunyai rasio dokter dibawah rata-rata nasional, terendah di Maluku (7,0), sedangkan tertinggi di DKI (70,8). Rata-rata bidan per 100.000  penduduk di Indonesia sebesar 32,3, terendah di Provinsi Maluku (17,5). Sedangkan rasio perawat dengan penduduk adalah 108 per 100.000 penduduk. Sebagian besar tenaga dokter (69%) bekerja disektor pemerintah. (Depkes, 2005)

 

           Kebijakan penempatan tenaga kesehatan dengan sistem pegawai tidak tetap (PTT) yang dilaksanakan pada tahun 90-an belum mampu menempatkan tenaga kesehatan (dokter umum, dokter gizi, dan bidan) secara merata terutama di daerah terpencil. Pada tahun 2003 sekitar 10,6 % Puskesmas tidak memiliki tenaga dokter. Begitu pula halnya dengan tenaga perawat dan bidan.

          

           Kompetensi tenaga kesehatan belum sesuai dengan kompetensi yang diharapakan apalagi jika dibandingkan dengan standar internasional. Susenas 2001, misalnya, menemukan sekitar 23,2% masyarakat yang bertempat tinggal di Pulau Jawa dan Bali menyatakan tidak/kurang puas terhadap pelayanan rawat jalan yang diselenggarakan oleh rumah sakit pemerintah. Sistem penghargaan dan sanksi, peningkatan karier, pendidikan dan pelatihan, sistem sertifikasi, registrasi dan lisensi belum berjalan dengan baik.

 

           Pengembangan organisasi profesi di bidang kesehatan sebagai mitra pemerintah dalam meningkatkan profesionalisme tenaga kesehatan belum berjalan dengan baik.Dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, puskesmas merupakan ujungtombak penyelenggara pelayanan kesehatan strata pertama. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah kerjanya. Terdapat tiga fungsi utama puskesmas yaitu sebagai:

(1) pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan,

(2) pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, dan

(3) pusat pelayanan tingkat dasar.Susenas 2004,

 menunjukkan fasilitas kesehatan yang relatif banyak dimanfaatkanpenduduk untuk berobat jalan adalah Puskesmas/Pustu (37,26 %), praktek dokter (24,39%) dan praktek petugas kesehatan(18,51%). Penduduk perdesaan lebih banyak memanfaatkan Puskesmas/Pustu (42,40%), dan praktek petugas kesehatan (23,42%) (BPS, 2004).

          

           Pada umumnya, sebagian besar pengguna Puskesmas adalah penduduk miskin, sedangkan pengguna Rumah Sakit adalah penduduk mampu. Puskesmas yang berada di daerah tertinggal sering mengalami kekurangan berbagai jenis tenaga. Sebagai implikasinya, selain kemampuan masyarakat yang kurang karena kemiskinan, pelayanan yang diperoleh juga krang optimal karena banyaknya Puskesmas yang kekurangan tenaga kesehatan.

          

           Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 (RI, 2004) kebijakan pembangunan kesehatan diarahkan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Paling tidak terdapat tiga kebijakan RPJM yang fokusnya berkaitan dengan peningkatan pelayanan di Puskesmas dan ketenagaan kesehatan upaya yaitu:

1) peningkatan jumlah jaringan dan kualitas Puskesmas;

2) peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga medis; dan

3) pengembangan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin.

 

Kualitas tenaga kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Saat ini, misalnya, dapat dilihat dari masih banyaknya puskesmas yang tidak mempunyai dokter umum. Akibatnya banyak puskesmas, terutama di daerah terpencil yang hanya dilayani oleh perawat atau tenaga kesehatan lainnya. Berbagai kajian (Bappenas, 2004; BPS dan OCR Macro, 2003) juga menunjukkan bahwa sebagian masyarakat mempunyai persepsi bahwa tenaga kesehatan belum sepenuhnya memberikan kepuasan bagi pasien, misalnya dokter yang dianggap kurang ramah, terbatasnya informasi kesehatan yang diberikan kepada pasien, atau lamanya waktu tunggu. Bahkan akhir-akhir ini sering muncul keluhan dan pengaduan masyarakat atas dugaan terjadinya malpraktek dokter.

 

 Tingginya rasio dokter umum terhadap jumlah penduduk di daerah luar Jawa masih

belum menjamin bahwa tenaga kesehatan tersebut dapat melayani lebih banyak penduduk dibandingkan di Jawa, karena kendala akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan. Sebagai contoh walaupun rasio dokter di Irian Jaya Barat lebih tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa Timur, tetapi karena penyebaran penduduk yang tidak merata, jarak, kendala geografis, dan sarana transportasi, masih banyak penduduk yang tidak terjangkau oleh dokter umum dengan mudah.

 

2. Jenis Tenaga

 

Untuk jenis tenaga kesehatan tertentu seperti perawat jumlahnya sudah relatif

cukup, bahkan produksinya terus meningkat. Namun sebaliknya terdapat jenis tenaga lain yang dapat dikatakan sebagai tenaga “langka” karena berbagai faktor, yaitu:

1. Jumlah tenaga kurang, kebutuhannya besar;

2. Lulusannya sedikit, bidangnya tidak diminati;

3. Jumlah institusi pendidikannya kurang;

4. Kualifikasi pendidikannya terbatas (D3 atau kurang);

5. Jumlah, jenis dan kualifikasi tenaga yang ditempatkan di wilayah tertentu

kurang/tidak tersedia akibat maldistribusi (misalnya dokter spesialis di daerah

terpencil).

Contoh beberapa tenaga “langka” adalah analis kesehatan, terapis wicara,

refraksionis optisien, fisioterapis, radiographer, epidemiolog, ahli human resource

management, dan lainnya. Beberapa penyebab kelangkaan tenaga ini adalah insentif

yang tidak menarik, jenjang karir tidak jelas, pasar tidak siap, non competence based, dan sistem informasi yang terfragmentasi.

 

Disamping tenaga langka tersebut, terdapat beberapa jenis tenaga baru yang belum ditentukan kategorinya pada PP 32/1996, antara lain kesehatan dan keselamatan kerja,hukum kesehatan, pengobat traditional, sarjana farmasi traditional, administrasi medik, dan audiologis.

 

 Ketersediaan Tenaga Kesehatan Di Puskesmas

 

Jumlah Puskesmas di Indonesia pada tahun 2004 sebanyak 7.550 buah, terdiri dari 2.010 Puskesmas Perawatan dan 5.540 Puskesmas Non Perawatan. Sedangkan jumlah seluruh tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas pada tahun yang sama sebanyak 141.566 orang, dengan demikian rata-rata setiap puskesmas dilayani oleh

18,75 tenaga kesehatan.

 

Yang perlu menjadi perhatian adalah pada daerah-daerah dengan rasio dokter per puskesmas yang kecil dan akses yang sulit, seperti di Papua dan Maluku. Hal ini

menunjukkan bahwa masyarakat mengalami kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan.

 

Kalaupun pada akhirnya dapat mengaksesnya, pelayanan yang diterima belum memuaskan karena ketiadaan dokter umum. Meningkatkan fasilitas dan dokter umum di daerah seperti ini mungkin menjadi mahal dan tidak memberikan daya ungkit yang tinggi terhadap derajat kesehatan secara nasional. Akan tetapi sebagai upya untuk memenuhi amanat undangundang dasar, pemenuhan hak dasar rakyat akan kesehatan, dan azas keadilan, upaya untuk daerah terpencil seperti ini perlu dilakukan dengan serius.

 

Tenaga kesehatan yang mempunyai peran penting dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak, terutama pelayanan kesehatan di daerah perdesaan adalah tenaga bidan. Secara keseluruhan jumlah bidan tercatat sebanyak 48.252 orang, terdiri dari 3.147 bidan D3, 15.056 bidan di puskesmas, dan 30.049 bidan di desa. Rata-rata rasio bidan per puskesmas tidak termasuk bidan di desa) adalah 2,4. Jika dilihat per propinsi, maka propinsi yang rasionya paling tinggi adalah Sumatera Utara (6,4) dan Papua (5,4), sedangkan paling rendah adalah DKI Jakarta (0,0) dan Gorontalo (0,6). Rasio tenaga bidan di desa per desa adalah 0,4.

 

Data ini antara lain menunjukkan bahwa kebijakan penempatan seorang bidan untuk setiap desa secara nasional tidak atau belum terpenuhi. Jika dilihat per propinsi, hanya satu propinsi, yaitu DKI Jakarta, yang rasio desa dengan bidan di desa tercatat di atas 1 (1,5), sedangkan propinsi lainnya berkisar antara 0,2 – 0,8.

 

 Tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai tugas dan tanggungjawab yang penting dalam pelaksanaan program di puskesmas antara lain adalah ahli gizi, sanitarian dan assisten apoteker. Jumlah ahli gizi yang bekerja di puskesmas pada tahun 2004 tercatat sebanyak 4.565 orang (1.599 Gizi/D3 dan 2.966 Pelaksana Gizi), rasio ahli gizi per puksesmas dengan ahli gizi adalah 0,6. Sementara itu, jumlah tenaga sanitarian tercatat sebanyak 4.468 orang, rasio sanitarian per puskesmas adalah 0,6. Jumlah tenaga assisten apoteker tercatat sebanyak 2.815 orang, dengan rasio 0,4 per puskesmas.

 

Kebijakan Tenaga Kesehatan

 

Kebijakan perencanaan tenaga kesehatan secara nasional antara lain diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. Dalam PP tersebut antara lain dinyatakan:

􀂃 Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan yang dibutuhkan, sarana kesehatan, jenis dan jumlah yang sesuai (pasal 6 ayat 3);

􀂃 Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Menteri Kesehatan (pasal 6 ayat 4).

 

Kebijakan Pemerintah tentang perencanaan SDM kesehatan ditetapkan melalui Kepmenkes No.81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumberdaya Manusia Kesehatan di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit.

Tujuan pedoman ini adalah untuk membantu daerah dalam mewujudkan rencana penyediaan dan kebutuhan SDM Kesehatan dengan prosedur penyusunan rencana kebutuhan SDM kesehatan pada tingkat institusi (misalnya Poliklinik, Puskesmas, Rumah Sakit); tingkat wilayah (misalnya Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); dan dalam kondisi bencana (pada saat prabencana, terjadi bencana, dan pasca bencana).

Adapun prinsip dasar perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan adalah:

1. Disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan kesehatan, baik lokal, nasional, maupun global;

2. Pendayagunaan SDM-Kesehatan diselenggarakan secara merata, serasi, seimbang, dan selaras oleh Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha;

3. Penyusunan Perencanaan didasarkan pada sasaran upaya kesehatan nasional dan

Rencana Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010;

4. Pemilihan metode perhitungan kebutuhan SDM Kesehatan didasarkan pada kesesuaian metode dengan kemampuan dan keadaan daerah masing-masing.

 

Dalam rangka pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan, Dinas kesehatan

menetapkan beberapa kriteria yang digunakan. Berikut ini adalah kriteria yang sering

digunakan untuk menentukan penempatan tenaga dokter di puskesmas dan persentase

kab/kota yang menggunakan kriteria tersebut.

 

Dokter PTT Puskesmas yang tidak ada dokter 84,2%, Rasio puskesmas terhadap Penduduk 57,9%, Cakupan pelayanan Puskesmas 44,7%, Puskesmas Daerah Terpencil 31,6%, Angka Kesakitan 10,5%, Lainnya 2,6%

 

Bidan PTT

 Desa tidak ada bidan 84,2%, Desa terpencil 50,0%, Angka kesakitan 28,9%, Lainnya 7,9%

Dari data di atas terlihat bahwa kriteria utama (84,2%) bagi lokasi penempatan

dokter dan bidan PTT adalah puskesmas yang tidak memiliki dokter atau bidan. Penggunaan kriteria seperti ini menunjukkan bahwa masih banyak puskesmas yang tidak mempunyai dokter atau desa yang tidak mempunyai bidan.

 

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, lebih dari separuh Dinas Kesehatan tidak menggunakan Pedoman Kepmenkes No 81/2004 untuk melakukan perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan. Sementara itu bagi daerah yang telah mengikuti pedoman, metode yang paling banyak digunakan adalah Ratio Method. Bila dihubungkan dengan kriteria penempatan dokter, justru sebagian besar kab/kota secara sederhana mengidentifikasi puskesmas yang tidak mempunyai dokter.

 

Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan dilakukan dengan lebih sederhana, yaitu dengan melihat jumlah puskemas yang tidak mempunyai tenaga dokter. Kalaupun perencanaan dilakukan menggunakan metode sesuai Kepmenkes 81/2004, pada saat prakteknya pengusulan tenaga dan penempatan menggunakan kriteria yang lebih sederhana yaitu kekurangan tenaga per individu puskesmas.

 

Dengan melihat masih banyaknya daerah yang mempunyai rasio dokter perpuskesmas kurang dari 1, yang menunjukkan masih banyaknya puskesmas tanpa tenaga dokter, maka bisa diduga bahwa penggunaan kriteria puskesmas tanpa dokter dan desa tanpa bidan masing-masing untuk penempatan dokter dan bidan, masih akan terus berlangsung hingga beberapa tahun mendatang. Permasalahan bisa muncul, jika penempatan tenaga kesehatan terutama dokter tidak sesuai dengan kondisi lapangan, artinya tidak pada lokasi yang telah diusulkan oleh Dinas Kesehatan.

 

Hal ini mungkin terjadi seandainya tidak ada koordinasi yang baik antara BKD dan Dinas Kesehatan. Survei menunjukkan bahwa sebagain besar repsonden (47,4%) menyatakan bahwa kewenangan penempatan ada pada Dinas Kesehatan atau Dinas Kesehatan dan BKD, 42,1 kab/kota menyatakan bahwa kewenangan ini berada pada Dinas Kesehatan, 7,9% kab/kota menyatakan bahwa kewenangan ini berada pada BKD dan 2,6% kab/kota menyatakan kewenangan pada badan lain seperti Bupati.

 

Proses pengadaan dan penempatan pegawai baru saat ini, menurut kepala Puskesmas dan tenaga kesehatan masih kurang memuaskan. Rata-rata sekitar separuh reponden menyatakan ketidakpuasan terhadap ketersediaan informasi pendaftaran pegawai baru, proses administrasi, seleksi penerimaan, penempatan, pengadaan penerimaan pegawai baru dan proses mutasi.

 

Mutu Tenaga Kesehatan

 

Secara umum kebijakan tentang tenaga kesehatan, khususnya yang berkaitan

dengan kualitas atau mutu, antara lain dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah (PP) No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam PP ini antara lain dinyatakan:

1) Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang kesehatan

yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan (Pasal 3); dan

2) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi

standar profesi tenaga kesehatan (Pasal 21) Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 2004, khususnya dalam Sub Sistem Sumberdaya Manusia Kesehatan, antara lain dinyatakan bahwa: “pembinaan dan pengawasan praktek profesi dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi”. Institusi atau lembaga yang melaksanakan kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:

 1) Sertifikasi dilakukan oleh Institusi Pendidikan;

2) Registrasi dilakukan oleh komite registrasi tenaga kesehatan;

3) Uji kompetensi dilakukan oleh masing-masing organisasi profesi; dan

4) Pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah.

 

Pada umumnya peserta didik dari hasil pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan kesehatan masih terbatas. Seringkali kemandirian, akuntabilitas dan daya saing tenaga tersebut masih lemah. Oleh sebab itu, peningkatan kualitas institusi pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu tantangan yang penting untuk dapat menjamin tersedianya tenaga kesehatan bermutu yang diperlukan. Hal tersebut diatur  melalui departemen Kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 850/Menkes/SK/V/2000 Tentang Kebijakan Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2000-2010 Salah satu upaya yang ditempuh Departemen Kesehatan dalam rangka

meningkatkan kualitas institusi pendidikan dan pelatihan, serta kualitas tenaga kesehatan yang dihasilkannya adalah menerapkan standar dan melaksanakan akreditasi terhadap institusi pendidikan dan pelatihan.

 

 Secara kumulatif sampai dengan September 2005, dari 642 institusi pendidikan tenaga yang tersebar di seluruh Indonesia, sebanyak 464 institusi (72,3%) telah diakreditasi (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 2005). Data hasil akreditasi ini antara lan menunjukkan bahwa masih diperlukan banyak upaya dan kegiatan untuk lebih meningkatkan kualitas institusi pendidikan tenaga kesehatan.

 

Hasil survei lapangan juga menunjukkan bahwa sekitar 70,6% responden menyatakan kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan tugas di puskesmas. Hal ini berarti tidak semua lulusan pendidikan tenaga kesehatan secara otomatis langsung dapat menjalankan tugas dan fungsinya di Puskesmas, tetapi masih memerlukan orientasi/adapatsi ataupun pelatihan di puskesmas.

 

Dalam rangka menunjang kelancaran pelaksanaan tugas di puskesmas sekitar 78,4% responden menyatakan pernah mengikuti pelatihan. Adapun jenis pelatihan yang diikuti adalah sebagian besar merupakan pelatihan teknis fungsional (85,7%). Penyelenggara pelatihan tenaga kesehatan di Puskesmas pada umumnya adalah Dinas Kesehatan Propinsi (36%), Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (25,5%), dan Departemen Kesehatan (5,1%).

 

Dengan mempertimbangkan pentingnya arti pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, maka sebagian besar Dinas Kesehatan (76,5%) memiliki rencana tahunan untuk jenis pelatihan yang dibutuhkan. Jenis pelatihan tersebut antara lain meliputi Pelatihan Fungsional dan Manajerial (50%), Fungsional (14,7%), dan Manajerial (5,9%). Untuk menunjang pelaksanaan pelatihan, sumber pembiayaan untuk kegiatan pelatihan adalah APBD Kab/Kota (44,1%), APBD Propinsi (38,2%), APBN (38,2%) dan sumber lainnya (11,8%).

 

Registrasi merupakan proses pendaftaran, pendokumentasian dan pengakuan

terhadap tenaga kesehatan setelah dinyatakan memenuhi minimal kompetensi inti atau standar penampilan minimal yang ditetapkan, sehingga secara fisik dan mental mampu melaksanakan praktek profesinya. Sebagai bagian dari tahapan registrasi dan pengakuan kompetensi diberlakukan “uji kompetensi” yang yang dilaksanakan oleh organisasi profesi itu sendiri dan difasilitasi oleh Dinas Kesehatan. Dalam masa transisi, “uji kompetensi” ini dapat diberlakukan dengan menggunakan metode yang disepakati bersama antara Dinas Kesehatan dan organisasi profesi. Departemen Kesehatan menetapkan bahwa bagi tenaga kesehatan yang lulus dari institusi pendidikan tenaga kesehatan dibawah pembinaan Departemen Kesehatan dapat

langsung diregistrasi. Dalam tabel berikut digambarkan kondisi beberapa jenis kemampuan dan kompetensi profesi tenaga kesehatan.

Distribusi Tenaga Kesehatan Di Puskesmas Di Wilayah Tertinggal

 

Definisi kabupaten tertinggal pada kajian ini mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 khususnya Bab 26. Dengan mengacu pada ketentuan ini, dalam kajian dari 32 kab/kota yang menjadi lokasi kajian ini, 8 diantaranya masuk kabupaten tertinggal dan 25 kab/kota masuk kategori tidak tertinggal.

 

Pada tabel 4.10 dibawah ini ditampilkan perbandingan distribusi tenaga kesehatan di Puskesmas pada kabupaten tertinggal dan tidak tertinggal lokasi kajian. Data ini merupakan hasil kuesioner yang diisi oleh 29 puskesmas yang pada kabupaten tertinggal dan 37 puskesmas pada kabupaten tidak tertinggal.

 

Jika dipilah menurut status kepegawaian, pada kabupaten tertinggal rasio tenaga kesehatan per puskesmas yang berstatus PNS adalah 19,21, lebih rendah dibandingkan 27,59 pada daerah tidak tertingggal. Namun rasio PTT dan honor daerah per puskesmas lebih tinggi pada daerah tertinggal. Hal ini mengindikasikan upaya untuk memenuhi kekurangan tenaga PNS dengan tenaga PTT dan honor daerah.

 

Selain pengelompokan kabupaten dalam kategori tertinggal dan tidak tertinggal, pada kajian ini digunakan pula kategorisasi kecamatan terpencil dan tidak terpencil. Kecamatan terpencil maupun tidak terpencil dapat saja dapat terletak dalam wilayah administratif kab/kota tertinggal maupun tidak tertinggal, walaupun pada kenyataannya, kecamatan terpencil lebih banyak terletak di kabupaten tertinggal. Dalam kajian, kategorisasi terpencil dilakukan sendiri oleh responden, atau dengan kata lain menggunakan persepsi responden. Dalam hal ini tenaga kesehatan dan kepala Puskesmas diminta menggolongkan kecamatan asal mereka sebagai daerah terpencil atau tidak terpencil.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENUTUP

KESIMPULAN

 

Secara nasional dilihat dari rasio terhadap jumlah penduduk, tenaga kesehatan di Indonesia masih belum mencukupi. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, rasio ini juga masih jauh tertinggal. Sebagian besar tenaga kesehatan berlokasi di Jawa dan Bali, namun jika dilihat dari rasio per penduduk, khususnya untuk tenaga dokter umum Rumah Sakit dan Puskesmas, distribusinya lebih menyebar. Tiga provinsi dengan rasio tertinggi adalah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Bali. Sedangkan tiga provinsi dengan rasio terendah adalah Jawa Barat, Banten, dan NTB.

 

 Kebijakan nasional tentang tenaga kesehatan telah disusun dalam bentuk peraturan perundang-undangan, meliputi aspek perencanaan kebutuhan, pengadaan, serta penempatan. Daerah juga telah melakukan perencanaan untuk hampir semua jenis tenaga. Namun lebih dari separuh (52,6%) Kabupaten/Kota lokasi kajian tidak

menerapkan Kepmenkes No.61/2004 mengenai pedoman perencanaan, dengan alasan

utama kurangnya sosialisasi, terbatasnya data dan informasi, dan terbatasnya kapasitas perencana. Pada kabupaten yang menggunakan pedoman dua metoda yang paling banyak digunakan adalah Ratio Method dan Health Services Demand Method.

 

            Terdapat kesenjangan antara jumlah (di 46% kab/kota) dan jenis (36% kab/kota) tenaga yang diusulkan dengan formasi yang tersedia. Formasi yang tersedia, sebagian besar (52,6% kab/kota) ditentukan bersama oleh Dinas Kesehatan dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan sepertiga (31,6% kab/kota) merupakan wenangan BKD.

 

 

 

 

 

 

 

SARAN

 

Untuk mengatasi berbagai kendala dalam perencanaan ketenagaan di daerah,

pemerintah pusat dan propinsi dapat membantu dalam sosialisasi metode perencanaan, peningkatan kapasitas perencana dan pengumpulan data dan informasi. Pemerintah daerah perlu melakukan pembagian tugas yang jelas, dan menyediakan pendanaan.

 

Perlu dimantapkan keterkaitan perencanaan, pengadaan dan penempatan tenaga agar tercapai keserasian antara kebutuhan, pendayagunaan tenaga dan penyediaan tenaga, misalnya dengan menajwab dua persamalah utama pengadaan tenaga kesehatan yaitu terbatasnya formasi dan terbatasnya dana.Untuk peningkatan akses masyarakat kepada tenaga dan fasilitas kesehatan di daerah terpencil, perlu dipetimbangkan kemungkinan untuk memperbanyak pustu dan polindes.

Hingga saat ini masih banyak puskesmas yang belum mempunyai dokter, sehingga kriteria penempatan yang digunakan daerah biasanya berdasarkan pada kekosongan tenaga dokter di Puskemas. Oleh karena itu secara nasional kebijakan untuk pengadaan dokter Puskesmas ini dapat dijadikan suatu prioritas.Untuk meningkatkan atau mempertahankan tenaga kesehatan di kecamatan terpencil, perlu diperhatikan masalah insentif yang seharusnya lebih baik daripada petugas di kecamatan yang tidak terpencil, termasuk fasilitas (rumah, alat) serta kemudahan karir.